Strategi raya Dinasti Carolus

jmpl|Pohon silsilah wangsa Caroling, dari naskah Chronicon Universale (Tawarikh Sejagat) karya Ekkehard dari Aura, abad ke-12

Sejarawan Bernard Bachrach berpendapat bahawa pendakian wangsa Caroling menuju puncak kekuasaan akan dapat dipahami secara lebih jelas jika ditinjau dari sudut pandang teori strategi raya. Strategi raya adalah muslihat atau siasat militer dan politik jangka panjang yang meliputi lebih dari satu tahap perang, dan dapat saja berlangsung dalam kurun waktu yang panjang.[8] Wangsa Caroling melakukan serangkaian tindakan bertahap tanpa melibatkan gagasan perebutan kekuasaan secara merawak rambang, sehingga dapat dianggap sebagai suatu strategi raya. Unsur penting lain dari strategi raya yang dijalankan generasi Caroling terdahulu adalah menjalin persekutuan politik dengan kaum bangsawan. Hubungan politik inilah yang menjadi sumber wewenang dan kekuatan wangsa Caroling di Kerajaan Orang Franka.

Semenjak masa pemerintahan Pipin II, wangsa Caroling berjuang mempersatukan kembali wilayah Kerajaan Orang Franka (Templat:Lang-lat) yang terpecah belah selepas kemangkatan Raja Dagobert I dari wangsa Meroving. Setelah gagal mengambil alih takhta dari wangsa Meroving pada ca. 651, generasi Caroling terdahulu perlahan-lahan memperbesar kekuasaan dan pengaruhnya dengan cara menghimpun kekuatan militer selaku pembesar istana raja-raja wangsa Meroving. Untuk mencapai maksud ini, wangsa Caroling menggabungkan tatanan militer dari penghujung zaman Empayar Romawi dengan perkembangan-perkembangan mutakhir yang muncul sejak abad ke-5 sampai abad ke-8. Penerapan strategi bertahan oleh orang Romawi pada penghujung zaman Empayar Romawi telah membentuk masyarakat Franka menjadi masyarakat pejuang yang siap sedia dikerahkan untuk berperang.[9] Prasarana-prasarana peninggalan Romawi yang tersisa dapat dimanfaatkan untuk kepentingan militer, misalnya jalan-jalan raya, kubu-kubu pertahanan, dan kota-kota berbenteng; dengan demikian strategi-stategi dari penghujung zaman Empayar Romawi dengan penyesuaian-penyesuaian seperlunya masih cukup relevan dengan situasi dan keperluan kala itu. Rakyat awam yang tinggal di dalam atau di sekitar sebuah kota berbenteng atau lokasi penting diwajibkan untuk mempelajari cara-cara bertarung dan cara-cara mempertahankan permukiman mereka. Tenaga mereka jarang sekali dimanfaatkan dalam pelaksanaan strategi raya wangsa Caroling, kerana mereka disiagakan untuk kepentingan pertahanan, sementara wangsa Caroling sendiri lebih banyak mengerahkan kekuatan militer yang dimilikinya untuk menyerang.

Rakyat awam selebihnya diwajibkan menjadi prajurit, termasuk ikut maju berperang. Tergantung dari jumlah kekayaan yang dimilikinya, seorang Franka diwajibkan untuk berbakti kepada kerajaan dengan berbagai macam cara lain, dan “semakin kaya seseorang, semakin besar pula kewajiban militernya”.[10] Misalnya, jika seseorang tergolong kaya, maka ia dapat dikenai kewajiban untuk menjadi kesatria, atau diwajibkan mempersiapkan sejumlah petarung.

Selain orang-orang yang dikenai wajib militer kerana memiliki lahan, ada pula prajurit-prajurit profesional yang ikut bertempur dalam barisan bala tentara wangsa Caroling. Jika pemilik lahan dengan luas tertentu berhalangan menjadi askar (perempuan, lanjut usia, sakit, atau pengecut), mereka tetap dikerahkan tetapi sebagai ganti keikutsertaannya, mereka akan menyewa askar sukarela untuk maju bertempur atas nama mereka. Lembaga-lembaga seperti biara atau gereja juga diwajibkan mengerahkan pasukan tempur sesuai dengan jumlah kekayaan dan luas lahan yang mereka miliki. Bahkan sesungguhnya, penggunaan sumber-sumber daya milik lembaga-lembaga gerejawi untuk kepentingan militer sudah menjadi suatu tradisi yang dilestarikan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya oleh wangsa Caroling.

Agaknya “sangat tidak mungkin bala tentara berkekuatan lebih dari seratus ribu prajurit, berikut sistem-sistem pendukungnya, dapat dikerahkan ke medan pertempuran dalam satu kali operasi saja.”[11] Oleh kerana itu, tuan-tuan tanah tidak diharuskan mengerahkan seluruh prajurit yang dimilikinya setiap tahun bila tiba masanya untuk untuk maju berperang, sebaliknya wangsa Caroling yang akan memutuskan pasukan-pasukan seperti apa yang mereka perlukan dari setiap tuan tanah, dan apa saja yang harus dibawa serta oleh pasukan-pasukan itu. Dalam beberapa kasus, pengerahan prajurit dapat digantikan dengan penyerahan berbagai macam mesin perang. Agar dapat mengerahkan prajurit yang mumpuni, banyak lembaga membentuk pasukan-pasukan prajurit yang terlatih bertempur dan bersenjata lengkap. Prajurit-prajurit ini akan dilatih, dipersenjatai, dan dicukupi keperluannya agar maju berperang sebagai anggota pasukan bersenjata lengkap atas biaya tuan tanah atau lembaga yang mengerahkan mereka. Para kawula bersenjata ini hampir sama dengan tentara pribadi, “yang diberi nafkah hidup dari harta para pembesar yang sangat berkuasa, [dan] yang cukup penting artinya bagi tatanan militer dan peperangan yang dilakukan generasi Caroling terdahulu."[12] Wangsa Caroling juga membentuk pasukan-pasukan tentara pribadi yang menjadi “pasukan inti utama dalam angkatan bersenjata” [Regnum Francorum] error: {{lang}}: teks mempunyai penanda italik (bantuan).[13]

Penerapan tatanan militer secara efektif inilah yang membuat wangsa Caroling berhasil melaksanakan strategi raya mereka. Strategi ini terdiri atas usaha-usaha yang ditekuni secara bersungguh-sungguh untuk membina kembali Regnum Francorum di bawah kekuasaan mereka. Bernard Bachrach mengemukakan tiga asas dalam strategi jangka panjang wangsa Caroling yang rentang waktu pelaksanaannya meliputi masa hidup beberapa generasi penguasa dari wangsa ini:

Asas pertama… adalah bergerak keluar dengan waspada dari [angkalan kekuatan wangsa Caroling di Austrasia. Asas kedua adalah hanya menyerang dan menaklukkan satu daerah saja dalam satu kali peperangan sampai benar-benar tuntas. Asas ketiga adalah menghindari keterlibatan dengan urusan-urusan di luar tapal batas Regnum Francorum, ataupun melibatkan diri bilamana benar-benar perlu tetapi tanpa disertai niat dan usaha untuk melakukan penaklukan.”[14]

Hal ini penting artinya bagi perkembangan sejarah Abad Pertengahan, kerana tanpa tatanan militer dan strategi raya, wangsa Caroling tidak mungkin mampu berjaya menjadi raja atas orang-orang Franka yang disahihkan oleh Uskup Roma. Selain itu, jerih payah dan dukungan prasaranalah yang memampukan Karel Agung menjadi raja yang begitu berkuasa dan dinobatkan menjadi Maharaja Orang Romawi pada 800 Masehi. Tanpa jerih payah para pendahulunya, ia tidak mungkin mencapai keberhasilan yang sebegitu besarnya, dan kebangkitan kembali Empayar Romawi di Eropa Barat mungkin tidak akan pernah terjadi.

Rujukan

WikiPedia: Dinasti Carolus http://www.intratext.com/X/LAT0459.HTM http://www.fordham.edu/halsall/basis/einhard.html http://www.penfield.edu/webpages/jgiotto/onlinetex... http://prpm.dbp.gov.my/ http://prpm.dbp.gov.my/Cari1?keyword=contoh&d=3762... https://www.britannica.com/biography/Arnulf-Holy-R... https://www.britannica.com/biography/Charlemagne/E... https://www.britannica.com/event/Treaty-of-Verdun#... https://kbbi.kemdikbud.go.id/ https://web.archive.org/web/20100226063634/http://...